Oleh: Ahmad Seadie
Harta yang menjadi milik manusia sebenarnya ada 3 macam, yaitu makanan atau minuman yang ia makan atau minum sampai habis, pakaian yang ia pakai hingga lusuh atau rusak, dan apa yang ia sedekahkan.
Makanan dan minuman yang habis diminum atau dimakan sudah pasti menjadi miliknya, karena ia telah menikmatinya dan telah menjadi darah dagingnya. Tetapi makanan dan minuman yang masih tersisa belum tentu menjadi miliknya. Bisa saja ia menyisakan dan menaruhnya di suatu tempat, tetapi siapa tahu kalau itu justru akan menjadi santapan yang lezat bagi orang lain atau makhluk lain seperti semut, kucing dan tikus.
Begitu pula dengan pakaian, termasuk kendaraan dan yang sejenisnya, yang ia kenakan sampai lusuh dan rusak, sudah jelas kepuasan yang ia peroleh darinya. Tetapi pakaian yang masih baik dan bagus belum tentu menjadi miliknya, dan mungkin saja tak dapat ia nikmati, karena hilang, rusak atau ternoda sebelum sempat dipakai.
Harta yang dimiliki pun demikian. Harta yang habis disedekahkan akan menjadi milik manusia, sedangkan yang tersisa belum tentu menjadi miliknya. Karena mungkin saja harta itu akan musnah sebelum sempat dinikmati, baik karena bangkrut, dicuri orang, terbakar, atau ada sebab lain yang mempercepat kemusnahannya. Bahkan, ketika ajal telah menjemputnya, bisa saja harta miliknya akan menjadi rebutan para ahli warisnya. Beruntung kalau ahli warisnya adalah anak-anak yang saleh dan salehah, tetapi kalau taleh dan talehah? Akan sia-sia harta itu!
Pada suatu hari, ketika telah menyembelih seekor kambing, Rasulullah memerintahkan istri beliau, Aisyah, untuk memasak daging kambing itu dan membagikannya kepada para tetangga. Kemudian, setelah beberapa lama, beliau bertanya kepada Aisyah:
“Apakah telah Kaubagikan daging kambing itu kepada para tetangga?”
Aisyah menjawab:
“Sudah, ya Rasul. Tinggal pahanya saja!”
Beliau berkata:
“Aisyah, pahanya yang habis, sedangkan yang tinggal adalah yang telah Kaubagikan!”
Maksud Nabi, justru harta yang telah disedekahkan itulah yang sebenarnya menjadi milik manusia, karena ia akan memperoleh pahalanya nanti di akhirat. Sedangkan harta yang diper-gunakan manusia untuk dirinya sendiri akan habis begitu saja. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat an-Nahl ayat 96:
mā `indakum yanfadu wa mā `indallāhi bāq wa lanajziyannal lazīna shabarū ajrahum bi’ahsani mā kānū ya`malūn.
“Apa yang ada di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal. Dan sesungguhnya Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang sabar dengan pahala yang lebih baik daripada apa yang telah mereka kerjakan.”